gemanews.id,Jakarta-Awal November 2019 lalu, sebuah video pendek, mendadak viral. Di vedeo itu, tampak seorang polisi, demi menyelamatkan nyawa seorang korban yang tengah terluka oleh serangan sekelompok massa, sampai berlutut memohon kepada massa penyerang. Peristiwa itu terjadi di areal pertambangan pasir di muara Sungai Saddang, Pinrang, Sulawesi Selatan.
Menyebut tambang pasir di muara Sungai Saddang, ingatanku tiba-tiba terlontar pada lebih sepuluh tahun silam di Pinrang. Waktu itu, saya menemani seorang sahabat pulang ke kampungya di Bilajeng, Batulappa, Pinrang, menjenguk orang tuanya. Saya masih ingat rumah Esha, begitu saya memanggilnya, terletak tak jauh dari bibir Sungai Saddang, hanya sekitar satu atau dua kilometer dari pintu air Bendungan Benteng ke arah hulu.
Dari Makassar, tiba di Pinrang pada tengah malam. Usai melintasi jembatan panjang Sungai Lasape, kami berbelok turun ke kanan menyusuri kanal irigasi dan melintasi anak-anak Sungai Saddang. Tetapi, perjalanan kami terpaksa melambat karena air anak-anak sungai itu sepanjang yang kami lalui, meluap.
Mau tak mau, kami mesti berhati-hati memilih jalan yang benar, agar ban mobil tidak terperosok ke dalam sungai. Sungguh suatu perjalanan yang cukup menegangkan. Beruntung kami dapat tiba dengan selamat di rumah Esha, tepat pada kokok ayam pertama, dini hari.
“Sejak masih kecil hingga saat ini, setiap tahun begitu musim hujan tiba, daerah ini selalu dilanda banjir. Repotnya, kalau pintu air Bendungan Benteng ditutup, banjir di sini. Giliran dibuka, banjir di muara,” keluh Esha saat kami berbincang di beranda rumahnya pada keseokan harinya. “Dan, beberapa tahun terakhir ini, banjirnya semakin parah,” sambungnya usai mengepulkan asap rokoknya di udara.
“Kenapa begitu?” tanyaku. “Pendangkalan di muara,” jawabnya.
Kami terus berbincang sembari ditemani kopi tubruk dengan sepiring pisang goreng yang berasal dari kebun pisang di belakang rumahnya. Dari sejak pagi hingga matahari sudah tinggi di langit, perbincangan kami masih tetap saja soal banjir. Bahkan makin serius, ketika Esha mengutarakan gagasanya untuk membangun tambang pasir di Muara Suangai Saddang.
“Pengerukan, katamu, mungkin itu adalah solusi paling tepat. Tetapi pemerintah tidak perlu repot menganggarkan biaya yang besar untuk itu, cukup memberikan izin penambangan. Dengan cara itu, pemerintah mendapat dua keuntungan sekaligus. Selain pendangkalan bisa di atasi tanpa membebani keuangan pemerintah, juga menjadi sumber pendapatan asli daerah,” urainya.
“Tetapi, untuk membangun usaha semacam itu, membutuhkan modal yang tidak kecil,” pancingku mencoba menggali seberapa besar kekuatan modal yang ia punya.
“Kalau kita gunakan konsep pemberdayaan masyarakat, modalnya tidak besar-besar amat. Lagi pula, masyarakat yang bermukim di muara Sungai Saddang itu, bukan orang lain. Tetapi masih kerabat yang berasal dari sini, pindah ke sana membuka lahan untuk bertani,” jelasnya optimis.
“Tumben, mulia juga cita-cita kunyuk satu ini,” makiku dalam hati. Tak berhenti sampai di situ, Esha terus bicara, berusaha runtut menjelaskan konsep pemberdayaan yang ia maksud kepadaku, meskipun diksinya sedikit payah.
“Saya mungkin hanya perlu modal untuk mengurus izin penambangan, membeli lahan untuk stockpile, dan beberapa alat berat. Setelah mendapatkan izin, saya kemudian membentuk kelompok kerja penambang yang berasal masyarakat setempat. Lalu, masing-masing kelompok saya berikan kavling di dalam wilayah izin penambangan yang saya miliki untuk ditambang,” gagasnya.
Tak membiarkan saya menyela, ia terus menyambung. ”Kalau itu berjalan, saya tinggal membeli dan memasarkan produksi mereka. Dengan cara ini, di samping dapat memberdayakan masyarakat, juga, kegiatan penambangan liar yang menjadi bancakan oknum selama ini, cepat atau lambat, akan berhenti dengan sendirinya. Dan, tak kalah pentingnya adalah, usaha itu akan menyumbang bagi peningkatan PAD Pinrang secara signifikan.”
Mendengarnya, membuat saya mengangguk-angguk juga. Saya harus akui kalau gagasannya kali ini paling cemerlang yang pernah saya dengar keluar dari batok kepalanya. Intinya adalah gagasan berbagi yang ia tawarkan, tidak mengikuti naluri kapitalisnya selaku pebisnis yang cenderung kapitalistik. Padahal, kalau orientasinya semata keuntungan, maka ia tidak berpikir untuk melibatkan masyarakat. Tetapi, cukup hanya sebagai buruh tambang, bukan pelaku.
Bertahun-tahun semenjak itu, kami jarang bertemu, sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan komunikasi kami hanya sesekali, itu pun hanya melalui whatsapp. Itu sebabnya saya tidak tahu lagi kelanjutan gagasannya membangun tambang pasir, hingga muncul gaduh di muara Sungai Saddang yang viral di media sosial.
Suatu pagi, Esha mengirimiku link-link berita dan beberapa video pendek terkait ribut tambang pasir di Pinrang. Tak terkecuali, foto sebuah dokumen izin usaha produksi (IUP). Saya baru paham kalau selama ini, Esha diam-diam berusaha mewujudkan mimpinya di muara sungai itu melalui PT. Alam Sumber Rezki (ASR). Dan, perusahaan inilah sekarang yang sedang diributi.
Tak lama, hand phone-ku bergetar di tanganku. Oh, Esha memanggil. “Apa yang terjadi?” tanyaku mendahului begitu hubungan tersambung. “Ah, ternyata niat baik saja tak cukup,” jawabnya dari ujung sana seperti terdengar kesal. Cukup lama ia berbicara. Selain menjelaskan apa sesungguhnya terjadi, juga, bagaimana ia berusaha mewujudkan konsep lamanya tentang pemberdayaan masyarakat di Muara Sungai Saddang itu.
Akhirnya saya mengerti kalau Esha sampai kesal. Belum apa-apa, sudah diributi, bahkan dituduh sebagai penambang illegal. Padahal, PT. ASR telah mengantongi izin usaha produksi (IUP) sejak 2017 dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Sulawesi Selatan.
Namun, yang paling ia sesali adalah ketika base camp perusahaannya diserang oleh sekelompok massa, menyebabkan dua anggota kelompok kerja penambang mengalami korban luka berat. Ironinya, yang melukai dan dilukai, sama-sama berasal dari masyarakat setempat. Bahkan, mereka mungkin masih kerabat.
Menurut konsep-konsep community development, bahwa salah satu penyebab kegagalan implementasi program pemberdayaan masyarakat, terletak pada rendahnya kualitas dan kuantitas sosialisasi. Apakah realitasnya begitu? Mungkin saja. Tetapi, ada hal lain mengusik pikiranku yang mendorongku mengambil kalkulator.
Potensi pertambangan pasir di muara Sungai Saddang, diperkirakan tidak kurang dari 1.500 ha atau seluas 15.000.000 m2. Jika dapat ditambang hingga pada kedalaman 1,5 meter, maka potensi pasir yang dapat dihasilkan sebesar 22.500.000 m3.
Jika penambangan dapat dilakukan 3 kali dalam setahun, maka potensinya mencapai 67.500.000 m3. Kalau harga jual pasir, anggap saja, Rp. 40.000 per m3, maka, hitung sendiri, berapa uang yang dihasilkan oleh tambang pasir tersebut? Wow, sebuah potensi sumber daya ekonomi yang sungguh menggiurkan.
Oleh karena itu, Pemkab Pinrang hendaknya menata pengelolaan potensi tambang pasir tersebut dengan sebaik-baiknya. Sebab selain berpotensi besar meningkatkan PAD, juga, dapat menghidupkan ekonomi masyarakat di sepanjang daerah aliran Sungai Saddang dan Pinrang pada umumnya. Juga, tak kalah pentingnya ialah, bahwa penataan itu diperlukan untuk mengantisipasi sejak dini, dampak lingkungan yang pasti terjadi.
Di samping itu, perlu juga disadari bahwa tambang pasir di muara Sungai Saddang itu, memang menyimpan potensi amuk yang besar. Bukan apa. Pihak- pihak yang juga merasa punya hak, terbelalak, seperti baru bangun dari tidur, begitu menyadari potensi itu. Belum lagi keberadaan para penikmat hasil penambangan pasir illegal selama ini, tentu tak tinggal diam, ketika merasa kepentingannya terganggu. Semua itu berpotensi menciptakan amuk.
Komentar