oleh

“Kasus Enrekang” Harus Mengintrospeksi Diri

-Sulselbar-465 Dilihat

gemanews.id- Makassar-Setelah dua tulisan saya rilis di beberapa grup whatsapp (WA), ternyata responnya cukup riuh. Beragam komentar disampaikan, tetapi intinya bernada prihatin. Prihatin atas penahanan oknum WN oleh aparat kepolisian setempat.

Pihak PWI Pusat pun ikut nimbrung berkomentar yang menyayangkan penahanan tersebut dan meminta Bupati Enrekang melakukan hak jawab.
Ketika akan menulis catatan ini, saya ditelepon oleh salah seorang pengelola media yang saya kenal baik.Dia menceritakan jika WN memang pernah bergabung dengan dia beberapa tahun silam selama enam bulan.Namun dari media ke media, karier yang bersangkutan berakhir tragis. Dia dipecat.

Ketika bersama di media teman saya itu, sekali waktu dia menurunkan satu wawancara dengan salah seorang anggota Dewan.Teman itu kaget membaca berita yang dilansir melalui media daring tersebut.

Teman itu pun langsung mengontak WN dan bertanya di mana dan kapan dia mewawancarai sosok anggota Dewan yang kebetulan sedang se-mobil dengan teman tersebut. Rupanya wawancara itu hanyalah sebuah aksi imajiner yang bersangkutan karena kecewa terhadap salah seorang anggota Dewan lain yang tidak memenuhi keinginannya.

Catatan awal ini tidak bermaksud ikut nimbrung memperbanyak catatan dan rekam jejak tak sedap yang bersangkutan. Sama sekali bukan, melainkan saya ingin meyakinkan kepada para pihak untuk tidak latah berbicara macam-macam yang bersifat dan bernada membela yang bersangkutan dalam kaitan kegiatannya yang mengatasnamakan “wartawan”.

Hal ini penting saya sampaikan karena Atal S.Depari, Ketua PWI Pusat, teman se-kamar saya ketika meliput Asian Games IX/1982 New Delhi India, juga ikut berkomentar dan menyayangkan penahanan yang bersangkutan. Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat yang sebenarnya tidak perlu nimbrung ikut berkomentar karena secara organisatoris kompetensinya lebih kuat dimiliki Ketua PWI Pusat, ikut meminta Bupati Enrekang melakukan hak jawab.

Permintaan maaf yang menurut saya sangat tidak paham konteks pemberitaan.Seperti saya tulis pada catatan sebelumnya, hak jawab dilakukan apabila narasumber tersebut telah memberikan pernyataan dan ditafsirkan atau ditulis secara keliru oleh sang wartawan.

Jika terjadi hal tersebut itu, wartawan itu sendiri harus mengoreksi dan memperbaiki berita itu – sesuai Kode Etik Jurnalistik pasal 10 yang berbunyi :”Wartawan dengan kesadaran sendiri berupaya secepatnya memperbaiki, meralat atau memberikan hak jawab setiap pemberitaan yang tidak akurat dan disertai permintaan maaf”.
Jadi, kita tidak boleh terlalu latah dan boros mengucapkan “hak jawab” sebelum melihat terlebih dulu materi dan konteks beritanya. Keterangan dari kedua petinggi PWI Pusat itu merupakan pernyataan yang sangat prematur dilakukan sebelum melakukan pelacakan terhadap siapa sebenarnya yang bersangkutan. Langkah yang kurang teliti ini mencerminkan kinerja organisasi yang kurang taktis dan selektif terhadap suatu kasus.

Komentar-komentar yang prematur ini mengesankan betapa kita lalai melakukan pengecekan kebenaran sebuah informasi. Sebab, seorang anggota DPR RI juga ikut berkomentar yang mengecam penahanan oknum WN tersebut yang semula disebut-sebut sebagai wartawan. Tidak ada salahnya jika yang bersangkutan benar-benar wartawan, tetapi itu menjadi kontraproduktif karena ternyata penahanan yang bersangkutan justru berkaitan dengan ujaran kebencian yang dirilis di media sosial. Dengan demikian komentar para pihak yang merujuk pada predikat WN sebagai wartawan menjadi “tidak berterima” dengan konteks permasalahan yang dijadikan delik oleh pemerintah Kabupaten Enrekang, c.q Bupati Enrekang.

Seperti yang berkembang dalam diskusi di media sosial yang menginginkan pihak Dewan Pers atau Kapolri turun tangan terhadap kasus ini, saya anggap itu terlalu naif. Dewan Pers memiliki inventarisasi media daring yang sudah terverifikasi sebelum mengambil langkah. Dewan Pers sudah memiliki daftar nama para wartawan yang memiliki kompetensi dengan tiga kompetensi itu (muda,madya, dan utama) sebelum menentukan langkah selanjutnya.

Pengecekan terhadap media cetak atau media daring maupun daftar nama wartawan yang kompeten (memiliki uji kompetensi) cukup mengandalkan ujung jari. Media teknologi informasi internet. Jika sudah mengetahui eksistensi media dan wartawan tersebut tidak benar, jelas Dewan Pers tidak mau membuang waktu dan tenaga untuk mengurusi kasus yang menimpa media dan wartawan yang tidak terverifikasi. Nanti ketika ada gelandangan yang mengaku jadi wartawan orang ramai-ramai membelanya. Apa kata dunia?

Reaksi yang begitu cepat, meski beberapa hari setelah kasus pemberitaan ini viral, di sisi lain patut diacungi jempol jika yang bersangkutan (WN) adalah benar-benar wartawan. Itu pun harus dicek lebih dahulu, dia bernaung di bawah organisasi wartawan yang diakui pemerintah atau tidak. Jika tidak sama sekali, seperti yang bersangkutan, saya sarankan lebih baik simpan kata dan kalimat untuk berkomentar. “Tabung” saja komentar untuk hal yang lain yang belum beres.
Yang bersangkutan sudah berada di sel tahanan Polres Enrekang, apakah masalah sudah selesai. Menurut saya, belum. Yang bersangkutan hanyalah seorang penulis “berita” tanpa nama di media daring tersebut. Media daring tersebut harus ikut bertanggung jawab karena memuat tulisan tersebut dan tanpa nama pula, meskipun mengetahui bahwa tulisan itu dari yang bersangkutan.

Terkait masalah ini, saya teringat kasus cerita pendek “Langit Makin Mendung” karya Ki Panji Kusmin yang dimuat di majalah “Sastra” edisi Agustus 1968. Penanggung jawab majalah adalah H.B.Jassin. Kasus ini menimbulkan “Heboh Sastra” yang membuat sang penanggung jawab duduk sebagai pesakitan di pengadilan. H.B.Jassin diadukan ke pengadilan karena tidak mau menjelaskan nama sebenarnya siapa Ki Panji Kusmin, penulis cerpen yang menghebohkan tersebut. Sebagai pertanggungjawaban jabatan dan moralnya dia rela diadili kemudian dipenjarakan, Kasus yang menimpa WN pun harus menggiring penanggung jawab media-media yang memuatnya jika WN diadukan ke polisi karena masalah berita. .

Pertanyaan yang muncul dari “Kasus Enrekang” ini adalah siapa yang pertama menyebut bahwa yang bersangkutan adalah wartawan karena pihak pemerintah daerah membantah menahan seorang wartawan, tetapi seorang pemuda yang bernama WN tersebut. Boleh jadi, orang yang menyebut dia wartawan karena mengetahui dia pernah menulis berita malang melintang pada beberapa media daring.
Hasil pelacakan dan diskusi saya dengan salah seorang teman yang pernah “membawahi” WN, dia memang pernah “kutu loncat” pada sejumlah media daring. Dari beberapa media daring tempat dia sempat “hinggap”, anak ini bekerja sebagai relawan, alias tidak digaji. Hanya satu media daring yang terverifikasi pernah menggajinya. Itu pun sesuai jumlah berita yang dia buat. Hanya saja, nasibnya selalu berakhir tragis. Dipecat. Pasalnya, ya, berulah. Membuat berita berdasarkan opininya sendiri. Seperti kasus yang terkait salah seorang mahasiswi sebuah akademi keperawatan di Makassar yang menolak “maunya”. Dia akhirnya membuat berita. Dia diadukan ke polisi. Tidak saja oleh keluarga mahasiswi tersebut, tetapi juga yayasan tempat mahasiswi itu menimba ilmu. WN akhirnya mengakui “dosanya” dan khilaf (bukan hilap, silaf, silap), yayasan pun memaafkannya.
Belum lagi seabrek daftar dosa yang dia buat ketika di Yogyakarta, seperti yang ditulis Syawal K di salah satu grup WA. Data itu makin melengkapi rekam jejak kurang elok yang bersangkutan, Bahkan menurut sahabat saya Sri Syahril kasus yang mengantar yang bersangkutan ke sel polisi bukan dalam kaitan dengan berita, melainkan lantaran ujaran kebencian (“hate speech”).
“Beberapa kali dia dia mengontak pejabat di Pemkab Enrekang dan minta uang sebagai kompensasi agar berhenti memberitakan Bupati Muslimin Bando,” tulis Sri Syahril di Grup WA Wartawan Sulsel.

Saran saya, kasus WN ini sudah perlu kita tamatkan diskusinya karena sudah berujung di sel polisi sesuai “kenakalannya”-nya. Namun ada yang belum selesai, yakni masing-masing kita sebagai insan pers mengintrospeksi diri agar tidak terjebak di dalam kasus WN. Mengoreksi diri secara total. Apakah kita bekerja di bawah naungan media yang terverifikasi dan wartawan yang memiliki kompetensi menurut versi Dewan Pers atau tidak. Kalau pun kedua syarat ini sudah dipenuhi, giliran dalam pelaksanaan profesi tetap ingat rambu-rambu Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Kode Perilaku Wartawan (KPW). Itu kalau kita mau aman, kecuali mau mengikuti jejak WN lagi.
Belajar dari kasus ini seharusnya organisasi profesi wartawan yang sudah ada harus menjadi fasilitator bagi sosialisasi segala aturan yang berkaitan profesi ini. Kita perlu kerja-kerja profesional selaku pengabdi profesi ini untuk memperbaiki diri.

Jangan nanti hanya dianggap kerja sudah ikut prihatin, seperti dalam kasus ini.
Tulisan ini melengkapi dua seri catatan saya sebelumnya. Setelah melihat perkembangan kasus ini saya merasa ikut “tertipu” juga dengan status WN dengan mengumbar dua tulisan panjang. Namun isi tulisan-tulisan tersebut saya harapkan dapat menambah wawasan pembaca, kalau merasa ada manfaatnya. Jika tidak ada, lupakan saja. Salam sehat selalu. Sampai jumpa. Wassalam. (*).