gemanews.id,Jakarta-Usai pelantikan Kabinet Indonesia Maju, mestinya bangsa ini memandang masa depannya dengan sikap optimistik. Tetapi yang terjadi justeru sebaliknya, pesimistik. Bagaimana tidak? Belum apa-apa, sejumlah menteri seperti kompak memproduksi kegaduhan dengan bahan baku isu radikalisme.
Ummat Islam sebagai komponen terbesar bangsa ini, merasa paling tertohok oleh issu tersebut. Gaduh, pasti. Padahal, mestinya para pemimpin elite negeri harusnya sadar kalau rakyat sudah begitu lama mendamba kehidupan yang lebih baik. Sehingga yang selalu ditunggu terucap dari mulut mereka, adalah narasi tentang kesejahteraan, bukanya narasi konflik yang tak henti memantik kegaduhan.
Kalangan muslim terusik. Muslimah bercadar dan pemakai celana cingkrang menjadi pesakitan? Gaya berpakaian mereka dicap secara gegabah sebagai ekspresi radikalisme. Bahkan tak sedikit menudingnya sebagai kelompok radikal. Mau tak mau, umat Islam bereaksi karena, lagi-lagi, kembali merasa dipojokkan.
Tak terelakkan, pro – kontra pun tersulut. Hampir dua pekan energi bangsa ini terkuras oleh perdebatan yang melelahkan. Dimana-mana, definisi radikalisme kembali dipercakapkan. Muslimah bercadar dianggap radikal karena terlalu ekstrim mengamalkan perintah menutup aurat melebihi yang lainnya.
Begitu pula pemakai celana cingkrang . Mereka mungkin terlalu bersemangat mencontoh Rasulullah. Mereka berpendapat bahwa mata kaki Rasulullah selalu tampak dalam berpakaian. Karena dianggap sunnah, mereka lantas mencontoh dengan memakai celana tergantung di atas mata kaki alias cingkrang.
Akan tetapi, jika yang demikian itu dinilai sebagai ekspresi radikalisme, maka semua yang berlebihan, baik dalam pikiran, maupun dalam tindakan, dapat disebut sebagai radikal. Pemahaman itu, celakanya, memenuhi kepala saya saat mengikuti pertunjukan Teater Koma pada suatu malam di Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Cikini.
Bersama seorang sahabat, Ilham Anwar, pegiat seni teater asal Makassar, kami menonton “J.J Sampah-Sampah Kota” karya Nano Riantiarno. Lakon itu, setelah empat puluh, dipentaskan kembali oleh Teater Koma pada pekan kedua November 2019. Bedanya, pementasan kali itu disutradarai Rangga Riantiarno, putra Nano.
Usai pertunjukan, saya mencolek lengan Ilham Anwar. “Pertunjukan itu sarat dengan narasi radikal,” kataku datar.
Ilo, begitu Ilham Anwar dipanggil berpaling ke arahku dan beberapa saat menatapku tajam. Saya tahu kalau ia mencoba menelisik apa yang sedang berkecamuk dalam pikiranku.
“Pikiranmu liar,” ujarnya singkat.
“Saya menangkapnya begitu,” jawabku sembari mengangkat bahu.
“Kamu masih terbawa oleh perdebatan tentang radikalisme di luar sana,” tudingnya. Kemudian, tanpa meminta, saya pun berusaha menjelaskan padanya.
“Saya menangkapnya begitu,” jawabku sembari mengangkat bahu.
“Kamu masih terbawa oleh perdebatan tentang radikalisme di luar sana,” tudingnya. Kemudian, tanpa meminta, saya pun berusaha menjelaskan padanya.