Mosi Tidak Percaya Terhadap Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Maros

Gemanews.Maros-Tentang Keputusan KPU Kabupaten Maros Nomor 381 Tahun 2024 Tentang Penetapan Calon Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Maros Dalam Pemilihan Umum Tahun 2024

Ket Gambar: Penulisnya:Ilham Tammam Direktur LBH-PPMI

yang dalam keputusan tersebut telah mengabaikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% sesuai amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum JO. Putusan Mahkamah Agung Nomor 24P/HUM/2023

Kuasa Hukum dari 3 Partai, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Maros , Partai Hanura Maros dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Maros yang diwakili oleh masing-masing Ketua dan Sekretaris Partai telah mengajukan Gugatan Tata Usaha Negara (TUN) pada Jum’at, 19 Juni 2024 yang telah terdaftar dengan Nomor Perkara: 68/G/TF/2024/2024/PTUN.MKS. dan tertanggal hari ini Kamis, 8 Agustus 2024 tahapan perkara tersebut ialah Pemeriksaan Persiapan.

Kuasa Hukum dari 3 partai tersebut, telah melakukan upaya administratif yaitu keberatan pada KPU Maros dan banding administratif kepada KPU Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga upaya hukum yang dilakukan selanjutnya ialah melakukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan alur pengajuan yaitu tahap 1 Pendaftaran Perkara (gugatan), tahap 2 Prosedur Dismissal, tahap 3 Pemeriksaan Persiapan, tahap 4 Pemeriksaan Perkara dan tahap 5 atau terakhir ialah Putusan.

terdaftarnya gugatan tersebut, telah secara nyata menjelaskan tentang pelanggaran administratif yang menyalahi norma peraturan perundang-undangan dilakukan oleh KPU Maros. Gugatan tersebut dilandasi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa alasan gugatan didasarkan pada Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b dan pada pasal 53 ayat 2, menjelaskan tentang Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang berlaku serta Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang digugat tersebut bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Pada perkara ini, tahap yang berlangsung ialah Pemeriksaan persiapan atau tahap ketiga, dan pada tahap ini telah melalui Prosedur Dismissal (Dismissal diterima), maka penulis berkesimpulan bahwa :
a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata termasuk dalam wewenang pengadilan TUN
b. Syarat-syarat gugatan telah dipenuhi oleh penggugat
c. Gugatan tersebut didasarkan pada alasan-alasan yang layak
d. Apa yang dituntut dalam gugatan senyatanya belum terpenuhi oleh KTUN yang digugat
e. Gugatan yang diajukan telah memenuhi prosedur waktu yang telah ditentukan.

 

Ketentuan Pasal 22E Ayat (5) dan Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, menyebutkan bahwa “Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri dan ketentuan lebih lanjut tentang Pemilihan Umum diatur dengan Undang-Undang.

Dalam melaksanakan perintah Undang-Undang Dasar tersebut, DPR dan Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagai pedoman penyelenggaraan pemilu. Bahwa implementasi kebijakan afirmasi dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden serentak tahun 2024 ini berpedoman dan berpegang teguh pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, sehingga pelaksanaan pemilu tahun 2024 secara filosofi, yuridis dan sosiologis harus berdasarkan pada UU ini.

Dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 24 P/HUM/2023, menjelaskan bahwa Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023, mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat sepanjang dimaknai “Dalam hal penghitungan 30 Persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan keatas, maka dari itu, seharusnya KPU Maros dengan memperhatikan Putusan MA ini, mempunyai kalkulasi dan perhitungan sendiri, dengan total masing-masing 7 Caleg dalam pembulatan keatas ialah 3 Caleg Perempuan dan 9 Caleg dalam pembulatan keatas ialah 3 Caleg Perempuan, sehingga dalam Keputusan penetapan Anggota Dewan Terpilih tidak menuai masalah seperti yang terjadi sekarang ini. Sedangkan tindakan factual KPU Maros ialah mengeluarkan Keputusan Nomor 381 Tahun 2024 Tentang Penetapan Calon Terpilih Anggota DPRD Maros yang dalam keputusan tersebut terdapat 7 nama calon yang diusung oleh partai yang telah mengabaikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% .

Selain itu, Mahkamah konstitusi dalam putusan Nomor 125-01-08-29/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024, menafsirkan bahwa seharusnya KPU sebagai institusi negara seharusnya memahami dan mematuhi putusan pengadilan, Putusan Mahkamah Agung Nomor 24 P/HUM/2023, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Menurut Mahkamah, apabila putusan tersebut tidak dijalankan maka tindakan tersebut tidak sejalan dengan “politik hukum” menuju kesetaraan dan keadilan gender dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Bagaimanapun merujuk semua ketentuan perundang-undangan sebagaimana frasa “sekurang-kurangnya 30%”, “paling sedikit 30%”, dan “paling rendah 30%” menunjukkan atau mengarah pada 1 (satu) hal, yaitu calon anggota legislatif perempuan tidak boleh di bawah angka 30 persen untuk setiap dapil. Bahkan, berkenaan dengan hal itu, Pasal 6 PKPU 20/2018 menunjukkan komitmen yang jelas terhadap upaya mewujudkan batas minimal 30 persen caleg perempuan sebagai sesuatu yang tidak dapat ditawar. Dalam hal partai politik tidak dapat memenuhi pengajuan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan dan penempatan susunan daftar calon, pengajuan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada daerah pemilihan yang bersangkutan tidak dapat diterima. Artinya, cara penghitungan pemenuhan kuota perempuan dalam PKPU 10/2023 adalah sebuah kemunduran yang tidak dapat dibenarkan, karena sebagai penyelenggara pemilu, KPU telah memberlakukan ketentuan keterwakilan perempuan 30% dengan pembulatan ke atas sejak sebelum Pemilu 2024.

Pada uraian dan penjelasan diatas, penulis dengan menarik sejarah pada ketika Pemilu 2014 dan 2019, KPU menafsirkan secara jelas komitmennya terhadap kebijakan afirmasi ini, sehingga ketentuan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan itu ditafsirkan boleh lebih, tapi tidak boleh kurang. Kemudian KPU juga membuat kebijakan baru. Partai politik yang setelah diminta memperbaiki daftar calon agar sesuai dengan kuota perempuan, tidak juga memenuhi itu, maka dia tidak diperbolehkan mengikuti pemilu di daerah pemilihan bersangkutan.

Sehingga pada Pemilu 2024, KPU membuat kebijakan baru yaitu boleh lebih, boleh kurang. Akibatnya, untuk daerah pemilihan yang 4 kursi, 7 kursi, 8 kursi, 11 kursi, itu kalau diterjemahkan boleh lebih, boleh kurang, tidak mencapai 30%. Jadi partai politik yang daftar calonnya kurang dari 30%, terancam menghadapi masalah di kemudian hari karena tidak sesuai dengan tuntutan undang-undang, paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Berikutnya yang terjadi adalah pengabaian-pengabaian dan pelanggaran Organisasi masyarakat sipil melakukan judicial review ke MA dan MA mengabulkan gugatan tersebut. Namun, KPU tidak melaksanakannya. Kemudian atas ketentuan KPU yang tidak sesuai dengan undang-undang tersebut, Kemudian, partai politik mengetahui bahwa PKPU Nomor 10/2023 melanggar undang-undang dan tahu bahwa peraturan tersebut sudah dikoreksi oleh putusan MA. Oleh karena itu, sebetulnya partai politik yang tidak memenuhi kuota sedikitnya 30% perempuan, mengetahui risiko politik maupun risiko hukum yang akan diterima.

di pemilu proporsional, apalagi kursinya 3 sampai 10, itu jarang terjadi partai bisa mengambil 50% lebih kursi yang tersedia. Oleh karena itu, kalau di daftar calon itu “dipaksakan” 30% perempuan, sebetulnya tidak mengganggu kepentingan siapa pun, baik partai maupun calon-calon yang sedang berkompetisi karena kursi yang tersedia itu cukup banyak. Masalahnya tinggal komitmen partai politik, apakah benar-benar mau memasukkan calon perempuan atau tidak. Kalau lihat di tahun 2014 dan 2019, semua partai politik komit, artinya bisa melakukan itu.

Masalah yang terjadi ialah memang pada tataran penyelenggara Pemilu atau dalam hal ini KPU Maros, secara sangat jelas dan telah diterangkan oleh keseluruhan sumber hukum bahwa, keterwakilan perempuan sangat menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, tetapi tetap saja diabaikan sehingga hal yang sangat wajar apabila ada partai yang berkepentingan melakukan gugatan TUN ini. Entah apakah dalam pelaksanaan tersebut, peraturan ini memang sengaja untuk tidak dilaksanakan atau ada kepentingan lain sehingga aturan ini diacuhkan.

Sehingga harapan penulis ialah evaluasi dan perbaikan institusi pelaksana Undang-Undang. Sebagaimana pada teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrance M. Friedmann bahwa dalam pelaksanaan hukum yang baik, diperlukan harmonisasi oleh tiga sistem yaitu, subtansi hukum yang memuat peraturan perundang-undangan atau norma hukum, kultur hukum atau budaya hukum dan struktur hukum atau penegak hukum. Harapan penulis, KPU Maros sebagaimana pelaksana Undang-Undang atau struktur hukum harusnya memahami dan melaksanakan subtansi hukum sehingga terjadi harmonisasi sistem. Sedangkan yang terjadi ialah subtansi hukum yang sudah naik, tetapi struktur pelaksananya tidak sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum seperti yang terjadi di Kabupaten Maros ini.

Dengan kejadian faktual tersebut, penulis berharap dilakukannya perombakan terhadap KPU Maros, dengan memperhatikan subtansi hukum yang ada sekarang, atau setidaknya dilakukan sosialisasi aturan sehingga para pelaksana Undang-undang tersebut bisa mengharmonisasikan tugas dan fungsinya.

Maka dari penjelasan diatas, LBH-PPMI menyatakan bahwa “Mosi Tidak Percaya” terhadap KPU Maros, dengan point sebagaimana berikut.

1. Tindakan faktual KPU Maros secara nyata melanggar hierarki peraturan perundang-undangan

2. KPU Maros secara nyata
mengabaikan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 24P/HUM/2023 yang memiliki kekuatan hukum tetap.

3. KPU Maros tidak sejalan dengan “politik hukum” menuju kesetaraan dan keadilan gender dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.

4. Perlunya dilakukan perbaikan Institusi Pelaksana Undang-Undang sehingga pelanggaran yang terjadi sekarang tidak terulang.

5. terlepas dari dikabulkan atau ditolaknya gugatan ini, hal ini merupakan pelanggaran yang mencederai demokrasi atau disebut ‘Cedera Demokrasi’(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *