Gemanews.id-MAKASSAR – Pihak kuasa hukum Marthen Luther menilai proses eksekusi pengosongan atas objek sengketa yang dilakukan Panitera Pengadilan Negeri Makassar pada Rabu, 12 November 2025, merupakan tindakan prematur dan tidak sejalan dengan ketentuan hukum, Kamis (20/11/2025).
Kuasa hukum menegaskan bahwa perkara terkait keberatan atas proses lelang masih berjalan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Muh. Tayyib S.H, selaku kuasa hukum Marthen Luther, mengungkapkan bahwa perkara gugatan perlawanan (verzet) terhadap penetapan eksekusi masih dalam tahap pembuktian dan akan disidangkan kembali pada Selasa, 25 November 2025.
“Proses hukumnya masih berjalan dan belum inkracht. Namun eksekusi dipaksakan tetap dilakukan. Ini tindakan yang sangat prematur dan mencederai rasa keadilan,” tegas Muh. Tayyib.
Kuasa hukum menyampaikan bahwa pihaknya telah mengajukan Gugatan Perlawanan (Verzet) terhadap Penetapan Eksekusi Nomor: 37 EKS.R.L/2025/PN Mks pada 25 Oktober 2025, yang kemudian diterima Pengadilan Negeri Makassar dengan Nomor Perkara 511/Pdt.Bth/2025/PN Mks.
Sidang pertama digelar pada 6 November 2025, namun pihak tergugat tidak hadir dalam panggilan pertama. Sidang kemudian dilanjutkan pada panggilan kedua tanggal 13 November 2025.
Meski proses gugatan masih berlangsung, eksekusi tetap dijalankan berdasarkan Kutipan Risalah Lelang No. 30/15.02/2025-01 tanggal 21 Januari 2025.
Menurut Muh. Tayyib, eksekusi yang dipaksakan tersebut tidak hanya melanggar aturan hukum, tetapi juga dapat dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap kewenangan hakim yang sedang menyidangkan perkara gugatan perlawanan tersebut.
“Ini jelas melanggar sejumlah ketentuan hukum, sekaligus merendahkan wewenang hakim dan lembaga peradilan. Eksekusi tidak boleh dilakukan sebelum ada putusan yang berkuatan hukum tetap,” ujarnya.
Kuasa hukum juga menilai bahwa tindakan tersebut dapat menjadi preseden buruk bagi masyarakat pencari keadilan di Pengadilan Negeri Makassar.
Dalam bantahannya, kuasa hukum merujuk pada sejumlah putusan Mahkamah Agung yang telah menjadi yurisprudensi dan pada prinsipnya menegaskan bahwa eksekusi tidak dapat dilakukan apabila objek sengketa masih diperkarakan secara hukum.
Beberapa putusan tersebut antara lain:
1. MA No. 3210 K/Pdt/1984
Eksekusi dapat ditunda apabila terdapat perlawanan atau gugatan terkait objek eksekusi.
2. MA No. 1189 K/Sip/1979
Pengadilan berwenang menunda eksekusi demi kepastian hukum dan mencegah kerugian yang tidak dapat dipulihkan.
3. MA No. 1406 K/Pdt/1986
Perlawanan pihak ketiga (derden verzet) menunda proses eksekusi hingga perkara selesai diperiksa.
4. MA No. 3909 K/Pdt/1991
Menguatkan prinsip bahwa eksekusi wajib ditunda apabila berpotensi menimbulkan kerugian serius dan tidak dapat diperbaiki (irreparable loss).
Kuasa hukum menegaskan bahwa tindakan eksekusi tersebut berpotensi melanggar dua ketentuan hukum utama:
Pasal 195 ayat (6) HIR / Pasal 206 ayat (6) RBg
Eksekusi hanya boleh dilakukan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pasal 54 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Menegaskan pentingnya perlindungan dan kepastian hukum bagi pihak yang sedang berperkara.
“Eksekusi tidak boleh dilakukan apabila menimbulkan irreparable loss, yaitu kerugian yang tidak dapat dipulihkan kembali. Pemaksaan eksekusi dalam perkara yang belum inkracht membuka ruang pelanggaran hukum serius dan mencederai prinsip keadilan, khususnya bagi masyarakat yang selama ini tertindas dan terzolimi.” tegas Muh. Tayyib.
Kuasa hukum menegaskan bahwa pihaknya akan terus menempuh jalur hukum untuk memastikan bahwa proses peradilan berjalan objektif, profesional, dan sesuai asas keadilan.


