Ad imageAd image

SPN Tala-Tala Maros Mangkrak di Tengah Hutan Lindung: Simbol Penegakan Hukum Yang Tumpul ke Dalam

admin
By admin 432 Views Add a Comment

Gemanews.id-Maros, Sulawesi Selatan – Alih-alih menjadi pusat pelatihan generasi penegak hukum, proyek pembangunan Sekolah Polisi Negara (SPN) Tala-Tala justru berubah menjadi simbol kegagalan negara dalam menegakkan hukum secara adil dan transparan. Bangunan megah yang kini mangkrak itu berdiri di tengah kawasan hutan lindung di Dusun Tala-Tala, Desa Bontomanai, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros tanpa izin kehutanan, tanpa izin lingkungan, dan tanpa kejelasan legalitas lahan.

Proyek ini menelan dana puluhan miliar rupiah dan kini disorot sebagai salah satu skandal tata ruang dan kehutanan paling serius di Sulsel.

PEKAN-21: “Ini Bukan Kelalaian, Ini Pembiaran Terstruktur”

Ad imageAd image

Lembaga Swadaya Masyarakat Pelopor Gerakan Pembaharuan (PEKAN-21) menyebut pembangunan SPN Tala-Tala sebagai bentuk “kejahatan kehutanan dan tata ruang yang dilakukan secara sistematis.” Ketua Investigasi PEKAN-21, AKBP (Purn) Agussalim, dengan tegas menyatakan bahwa proyek ini sarat pelanggaran hukum berat.

“Tidak ada izin pelepasan kawasan dari KLHK, tidak ada dokumen lingkungan hidup, bahkan kami temukan indikasi kuat pemalsuan administrasi dan transaksi gelap. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi pembiaran oleh aparat sendiri,” tegas Agussalim.

Hutan Lindung Diterobos, Bangunan Rusak Tak Layak Pakai

Ad imageAd image

Investigasi PEKAN-21 mengungkap bahwa proyek SPN Tala-Tala berdiri di atas lahan seluas 6,72 hektare yang termasuk dalam kawasan hutan lindung pinus. Bangunan utama seperti asrama siswa, pos Brimob, dan satu rumah panggung kini dibiarkan dalam kondisi rusak: retak, lapuk, dan tak memiliki koneksi air bersih, listrik, maupun akses jalan memadai.

Pemetaan citra satelit menunjukkan bahwa lokasi pembangunan menyimpang dari sertifikat resmi, memperkuat dugaan pemalsuan dokumen. Ironisnya, rumah panggung yang berdiri di tengah lahan tersebut kini diduga ditempati oleh mantan pejabat yang masih menikmati fasilitas negara.

Dugaan Kerugian Negara hingga Rp50 Miliar

Pembangunan SPN Tala-Tala dibiayai secara bertahap melalui APBN, hibah Pemprov Sulsel, serta dukungan dari Pemkab Maros, dengan estimasi anggaran mencapai Rp35 hingga Rp50 miliar. Namun, sebagian besar fasilitas kini tidak berfungsi dan terbengkalai.

Audit dari Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri dan BPKP Sulsel yang dilaporkan ke Mabes Polri akhir 2023 menemukan berbagai penyimpangan seperti mark-up biaya, pengadaan fiktif, dan tidak sesuainya spesifikasi teknis.

“Ini proyek negara yang gagal total. Uang rakyat digelontorkan, hutannya hancur, hukum ditabrak, hasilnya bangunan kosong penuh retakan,” kritik Agussalim.

Sertifikat Bodong dan Transaksi Bayangan

PEKAN-21 juga menemukan dugaan pemalsuan sertifikat tanah di kawasan hutan negara. Oknum kepala desa setempat diduga menerbitkan SHM palsu di atas tanah milik negara, yang kemudian dijual ke pihak ketiga—termasuk kepada oknum aparat. Pembayaran dilakukan melalui transfer pribadi tanpa dokumen sah.

Laporan dugaan pemalsuan ini telah diserahkan ke Kejaksaan Agung dan Kejati Sulsel, namun hingga kini belum ada satu pun pihak yang dimintai pertanggungjawaban hukum.

Penegakan Hukum Mandek, Bola Panas Dilempar

Upaya pelaporan yang dilakukan PEKAN-21 hingga kini belum menunjukkan hasil. Kasus yang awalnya dilaporkan ke Kejaksaan Agung dialihkan ke Kejati Sulsel, lalu dilempar kembali ke Polri. Surat penyelidikan dari Itwasum Polri pun belum disertai dengan tindakan konkret ataupun keterbukaan informasi ke publik.

“Kalau proyek aparat sendiri dibangun tanpa hukum, bagaimana masyarakat bisa percaya pada sistem penegakan hukum negeri ini?” sindir Amir Kadir, Sekjen PEKAN-21.

Tujuh Undang-Undang Dilanggar, Tak Satu pun Dijerat

Pembangunan SPN Tala-Tala berpotensi melanggar sedikitnya tujuh produk hukum nasional:

1. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan

2. UU No. 18/2013 tentang Pemberantasan Perusakan Hutan

3. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

4. UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang

5. UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah

6. UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

7. PP No. 104/2015 dan PP No. 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan

Ancaman hukuman mencakup pidana penjara hingga 20 tahun dan denda hingga Rp5 miliar. Namun, hingga kini, belum ada satu pun tersangka yang ditetapkan.

Desakan Publik Meningkat: Seret Penanggung Jawab ke Meja Hukum

Sejumlah organisasi masyarakat sipil, akademisi, hingga tokoh lingkungan mendesak pemerintah pusat dan institusi penegak hukum agar segera mengambil langkah konkret dalam mengusut kasus ini. Mereka menilai pembiaran terhadap kasus SPN Tala-Tala akan menjadi preseden buruk bagi masa depan tata kelola kehutanan dan integritas institusi hukum di Indonesia.

“Bangunan bisa dibangun lagi. Hutan bisa ditanam ulang. Tapi kepercayaan publik yang hilang—itu sulit dikembalikan,” tutup Agus salim.

Penulis: Tim Investigasi Gemanews.id

Share This Article
Leave a review