Ada Oknum Senator Terduga Korupsi, Alumni Lemhannas: BK DPD-RI Mentimun Bungkuk

Gemanews.id-Jakarta – KPK dalam beberapa waktu terakhir telah menciduk sejumlah pejabat. Terakhir, KPK berjaya menciduk via OTT Walikota Bekasi, Rahmat Effendi, bersama belasan kroninya dalam kasus korupsi berjamaah bermodus upeti.

Sebelum ini, KPK juga telah menahan dan memproses terduga koruptor dari lembaga legislatif nasional. Tidak tanggung-tanggung, yang ditangkap KPK adalah Wakil Ketua DPR-RI, Azis Syamsuddin. Kasus dugaan korupsi yang menjerat alumni Universitas Padjajaran itu adalah memberikan uang dan/atau janji kepada mantan penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju, senilai Rp. 3,1 miliar [1].

Di jajaran kementerian, setidaknya 2 menteri pada Kabinet Kerja Jokowi jilid 2 telah dimangsa KPK. Menteri KKP, Edhy Prabowo, dan Mensos, Juliari Peter Batubara, kini telah menikmati buah dari tindak kejahatan korupsi yang dilakukan bersama jaringan mafia korupsinya.

Kasus suap-menyuap dengan nilai ratusan juta hingga miliaran itu telah umum dilakukan oleh para pejabat dan kroninya di mana-mana di seantero negeri ini. Pemberian uang untuk melancarkan proses ‘mendapatkan sesuatu’ oleh para penyuap kepada pejabat dan/atau yang berwenang merupakan delik pidana yang dimaksudkan oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [2].

Sebagaimana halnya dengan kasus dugaan suap yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) dari daerah pemilihan Provinsi Lampung, Ahmad Bastian, sangat kental dengan unsur tindak pidana suap dan/atau korupsi. Berdasarkan fakta persidangan, diketahui bahwa Ahmad Bastian disebut-sebut dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantas Korupsi (JPU KPK) terhadap terdakwa (kini terpidana – red) mantan Bupati Lampung Selatan, Zainuddin Hasan, telah memberikan uang suap kepada adik kandung mantan Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan, itu sebesar Rp. 9,6 miliar.

Dikutip dari JawaPos.com, yang menuliskan hasil liputan di PN Tipikor Tanjung Karang, Lampung, bahwa dalam dakwaan JPU KPK, penerimaan suap Zainuddin dikelompokkan menurut tahun anggaran menjadi tiga bagian, yaitu:
– Pada 2016 dari Syahroni sebesar Rp 26.073.771.210 dan dari Ahmad Bastian sebesar Rp 9,6 miliar;
– Pada 2017 dari Syahroni sebesar Rp 23.669.020.935 dan dari Rusman Effendi sebesar Rp 5 miliar; dan
– Pada 2018 dari Anjar Asmara sebesar Rp 8,4 miliar [3].
Pengadilan Tipikor telah menjatuhkan vonis kepada Zainuddin Hasan, Syahroni, dan Anjar Asmara, dengan hukuman penjara bervariasi sesuai kesalahan masing-masing.

Kondisi DPD-RI periode 2019-2024 yang dinodai oleh kehadiran terduga koruptor itu telah melahirkan pesimisme di kalangan masyarakat, khususnya para pejuang anti korupsi, untuk berharap banyak terhadap institusi tempat berkumpulnya para Senator Indonesia itu. Seperti yang dikemukakan oleh alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, yang mengatakan bahwa dirinya sangat prihatin dan menyayangkan melihat lembaga legislatif di tingkat nasional tersebut tidak mampu memberi contoh yang baik terkait usaha bangsa ini membersihkan jajaran pejabatnya dari para koruptor.

“Perlu diketahui bahwa DPD-RI itu adalah salah satu anak kandung gerakan reformasi 1998, yang saat itu mengusung tema sentral ‘Anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme’. Jadi, kita amat prihatin melihat lembaga DPD-RI saat ini justru dihuni juga oleh orang-orang yang terindikasi kuat sebagai pentolan pelaku KKN, baik yang sudah diproses maupun yang seharusnya diproses oleh aparat penegak hukum,” ujar tokoh pers nasional anti suap, anti korupsi, dan anti ‘ceng-li’ (kolusi – red) ini.

Kita, lanjut Lalengke, bukan bicara tanpa data. “Kesaksian Ahmad Bastian saat menjadi saksi untuk persidangan kasus suap fee proyek Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di PN Tanjung Karang pada April 2021 lalu semestinya dapat dijadikan titik awal penyelidikan dan penyidikan oleh KPK. Jelas-jelas pada persidangan mendengarkan kesaksian di bawah sumpah, Ahmad Bastian, yang merupakan timses pemenangan mantan bupati Zainuddin Hasan, mengaku memberikan uang Rp. 500 juta dengan harapan mendapatkan proyek [4], walaupun dengan alibi macam-macam,” tambah lulusan dari 3 universitas terbaik di Eropa (Birmingham University, England; Utrecht University, The Netherlands; dan Linkoping University, Sweden) ini.

Lalengke selanjutnya menjelaskan bahwa jikapun kita boleh percaya pengakuan Ahmad Bastian hanya memberikan uang, yang sangat patut diduga sebagai uang suap, sebesar Rp. 500 juta, semestinya aparat penegak hukum tetap harus mengusut dan menangkap pelakunya. “Jika bukan oleh KPK, yaa tentu Kejaksaan Agung dan atau Kepolisian Republik Indonesia. Intinya, jangan dibiarkan dan dianggap itu hal biasa. Ini _extra ordinary crime,_ kejahatan luar biasa!” tegasnya.

Menanggapi peran Badan Kehormatan DPD-RI yang semestinya berperan memproses anggota yang terindikasi bermasalah, Lalengke dengan nada sinis menanyakan apakah ada BK DPD-RI? “Saya bersama warga Lampung sudah dua kali mendatangi mereka untuk melaporkan kasus adanya anggota DPD-RI terduga koruptor atas nama Ahmad Bastian itu. Saya lihat ada orang-orangnya, tapi tidak ada kerjanya. Menghabiskan anggaran saja unit BK DPD-RI itu. Sebaiknya tidak perlu ada, daripada ibarat istilah orang Sumatera, maaf, ‘mentimun bungkuk’, ada tapi dianggap tidak ada, useless!” tegas Lalengke lagi. (APL/Red)